Minggu, 13 Mei 2018

MINGGU MALAM YANG BERINTIK

Beberapa hari ini, seperti ada yang beda dari dirimu. Mungkin dari caramu meresponku. Atau mungkin dari cara cintaku yang berlebihan, yang menuntut apapun tanpa melihat keadaanmu.

Dulu, saat tertidur duluan. Saat tak sengaja bangun di sepertiga malam. Aku akan tersenyum sumringah melihat beberapa pesanmu yang tak terbalas. Bahkan pun, kau akan spam kata-kata romantis yang menyentuh hati. Atau kadang, kau berubah menjadi orang gila yang mengobrol seorang diri. Kemudian, kegilaanmu itu di akhiri dengan ucapan selamat tidur yang begitu kuhapal, disertai emoji cinta berwarna ungu dan merah muda.

Hal sederhana itu begitu romantis rasanya. Sangat romantis. Hingga membuatku begitu buta. Dan semakin cinta.

Biasanya, saat terbangun di jam-jam dini hari, aku akan membangunkanmu untuk banyak hal. Entah ingin ditemani. Entah parno sendiri. Entah karena insomnia yang tiba-tiba melanda.

Kamu rela menghabiskan waktu denganku sampai jam tiga. Atau bahkan, sampai suara tadarrus mesjid pertanda shubuh tiba. Kita bercerita banyak hal. Mengalir dalam waktu. Hingga lupa kewajiban masing-masing, yaitu beristirahat sebelum kembali beraktifitas di esok hari.

Adapun aku akan dengan mudah membangunkanmu jika kamu tertidur. Mungkin dengan me-missed call mu tak sampai 4 detik. Sapaan halo mu  berikutnya muncul di jendela WhatsApp. Hal sederhana yang membuatku merasa berarti. Betapa kau ingin menemaniku menutup perasaan sepi.

Aku tidak menuntut agar kamu harus ini dan itu sesuai mauku. Pun tidak meminta agar segala waktumu kau luangkan untuk gadis yang mengaku sangat mencintaimu ini. Hanya saja, belakangan ini terasa ada yang berbeda. Kamu; tidak lagi pernah menemaniku, bahkan kemarin; satu khilapmu sedikit membuat hatiku tersentak. Kamu, tidak mengucapkan selamat tidur, seperti hari-hari biasanya.

Bodoh memang. Jika aku berharap kau akan rutin melakukan hal-hal romantis itu. Sementara umpan balikku padamu hanya kata-kata sayang dan rindu yang tak pernah ada habisnya. Aku sering meninggalkan mu di jam 10 malam dengan alasan kelelahan. Kadang juga lalai dalam membalas pesan singkatmu, akibat beban kerja yang tak tertahan. Namun, sebesar-besar palung hati sebenarnya menyimpan kekecewaan. Sebab, banyak sekali kemauan untuk bisa menjadi wanitamu sesungguhnya. Wanita mu yang bisa membuatmu nyaman. Wanita mu yang bisa membuat mu aman.

Malam ini. Di pukul 01.39 waktu Indonesia bagian tengah. Tiba-tiba aku merindukanmu. Bukan merindukan pertemuan. Bukan merindukan dekapan. Bukan pula merindukan obrolan di mana kadang kita menghabiskan waktu sejam serasa semenit. Aku hanya rindu pada tingkah lucumu. Pada kecepatan responmu saat aku membangunkanmu tengah malam. Pada kerasnya hatimu yang tak ingin dibilangi meski sudah kumarahi berkali-kali untuk kembali tidur. Ya. Aku rindu. Sangat rindu.

Teruntuk lelakiku yang benar-benar mendekap hatiku dengan sangat utuh. Pahamilah. Aku rindu pada tingkah-tingkah romantismu yang membuat diriku merasa berarti. Aku rindu pada apapun tentangmu yang membuatku semakin cinta. Aku rindu pada obrolan kita di pertengahan malam saat para manusia sibuk berleha-leha di pulau kapuk. Aku rindu. Sangat rindu. Begitu rindu.  😢😢😢

Dari seorang gadis yang merindu pada sosokmu yang dulu.

-Rain on May, 14th-

Rabu, 24 Januari 2018

SELASA MALAM YANG DINGIN

Aku menghela napas berulang kali. Mencoba memperbaiki perasaan yang terasa sedikit jenuh. Bukan. Bukan karena aku hendak menyerah. Tubuhku hanya tak sanggup saja. Setelah terjatuh dan tertindih beban berat, bukan cuma fisik yang tersiksa. Batin pun begitu. Karena tuntutan karir yang memang sulit di awal dengan terlalu.

Bukan aku menuliskan ini untuk mengeluh. Sungguh. Aku hanya ingin bercerita. Bahwasanya, Cinta itu memang tidak perlu butuh ungkapan kata. Apalagi sebuah alasan? Bahkan rembulan yang tadinya bersinar-kemudian tiba-tiba menghilangpun tidak mampu mendeskripsikan. Iya. Tentangmu. Tentang cerita kita di malam rabu yang tidak terlalu kelabu.

Katamu, tidak apa jika aku merepotkan. Meskipun aku memang butuh, namun rasanya begitu berat harus melepasmu begitu saja malam-malam. Aku paham kamu ini laki-laki. Tapi, kamu juga harus paham. Aku adalah orang yang terlalu berat untuk meminta tolong. Jangankan kata tolong, memintamu untuk membalas pesan singkat ku saja sudah tak enak sekali. Terlebih harus menjemputku di tempat yang lumayan jauh? Sungguh, sebuah kejadian yang tak pernah terbesit di anganku.

Kamu mengambil jarak yang tidak terlalu jauh. Sekitar sepuluh kaki dari tempat di mana tubuhku sedang kelelahan menunggu. Kupikir, kamu tak mengkhawatirkanku sebegitu. Ternyata, kamu melakukannya tanpa persetujuanku terlebih dahulu. Aku mulai berpikir, sebegitu pentingnya kah aku di dalam hidupmu?

Tidak. Aku tidak ingin munafik. Melihatmu dari kejauhan saja rasanya sudah sangat bahagia. Seperti ada sesuatu yang menggelitik begitu saja di dada. Aku jadi teringat dengan segala kenangan di masa SMA. Di mana saat punya beberapa kesempatan, aku akan menatapmu dari jarak yang cukup jauh. Iya. Di depan kelasku yang diantarai dua lapangan luas dengan kelasmu. Ah. Aku sangat rindu masa itu.

Aku coba menghampiri dengan malu-malu. Kuminta kepada Tuhan agar aku diberi kekuatan untuk sekadar menatapmu. Ah, melangkah saja rasanya sulit sekali. Kenapa getaran yang kurasakan masih sama, seperti getaran di awal kita berjumpa lalu?

Kita membelah jalanan malam bersama. Mencoba bercerita sedikit mengenai kejadian yang tidak sengaja menimpaku. Kuatur detak jantungku yang tak menentu. Kuatur getar suaraku agar terintonasi dengan jelas dan tak ragu. Sedikit, kutanya pada batinku. Apakah aku sudah gila, karena masih bergetar sebegininya, padahal hubungan kita sudah menginjak tahun keempat, dan sebentar lagi berpindah ke tahun kelima?

Sungguh. Aku terpana pada apapun itu. Pada wajah dinginmu. Pada sorot tajam matamu. Meski hanya bisa kunikmati di remang malam yang mulai melarut. Tidak masalah. Cukup melihatmu sepersekian detik saja aku sudah sungguh amat bersyukur. Bukankah ini berlebihan, bagiku, seorang gadis yang katanya harus merubah sikap kekanakan menjadi sedikit dewasa?

Tak peduli, Kuminta pada Tuhan agar waktu terputar sedikit lambat. Kutahan senyumku agar tak mengembang bak orang kesetanan. Aku bahagia. Sungguh. Ingin rasanya tanganku mengikat erat melilit perutmu. Ingin rasanya kepalaku bersandar pada punggung bidangmu. Ingin rasanya kupejamkan mataku sambil mengabaikan sakit pada fisikku akibat tragedi siang lalu. Namun, sekali lagi kubangun dari mimpiku. Aku tidak boleh memiliki angan yang berlebih. Sebab, suatu hubungan harus memiliki jarak, terlebih tentang aku denganmu, yang mana belum disetujui oleh semesta yang masih asik mempermainkan begitu saja, tanpa rasa kasih dan empati.

Senyumku masih setia mengembang. Sebelumnya, aku belum pernah senyaman ini. Di hari sebelum aku bertemu kamu, aku belum pernah benar-benar sebahagia ini. Bahkan, saat aku mendapatkan apa yang aku mau di usia remaja; entah itu penghargaan, benda, ataupun pekerjaan, aku tak pernah segirang dan sebahagia ini. Apakah memang kamu ditakdirkan Tuhan untuk memberikan pelangi dalam hidupku? Mengakulah. Sebab aku hanya ingin jawaban persetujuanmu. Sebab, segala anggukan darimu akan kujadikan alasan untuk bertahan. Setidaknya aku tidak akan mengaku ingin pergi lagi. Jika suatu saat khilapmu akan menyakiti hati.

Aku sangat nyaman duduk di belakangmu. Menikmati dingin malam yang terasa menusuk sampai ke sum-sum tulang. Sakit yang tadinya menjalar ke seluruh tubuh rasanya bergemuruh. Mereka terasa melarikan diri, pergi dan mencoba membiarkan aku merasakan betapa nyaman ada di dekat kamu. Jarang kita punya waktu singkat begini. Sekiranya 10 menit, yang berusaha di panjangkan agar tidak timbul rindu yang menyeluruh. Menyiksa batin dan jiwa. Menyiksa benak dan pikiran.

Namun salah, pertemuan pendek itu ternyata menimbulkan gejolak di dada. Ada percikan rasa yang menuntut agar kamu masih ingin berlama-lama. Ada percikan rasa yang meminta agar kamu tetap di sampingku saja. Namun sekali lagi, itu mustahil. Semesta masih senang bermain, dengan dua insan yang mengaku saling mencintai ini.

Aku bahagia. Denganmu. Pada rasa peduli dan kasih sayang yang telah kau tunjukkan kepadaku. Pada apapun yang sudah kita pertahankan sejauh ini. Pada sikap sabarmu yang mampu mengalah atas egoku. Pada perasaan cintaku yang tidak peduli atas khilapmu.

Aku tidak peduli apapun itu.

Sebab, sampai hari ini aku ingin mengaku.

Aku mencintaimu.

Masih mencintaimu.

Sangat mencintaimu.

Dan tambah mencintaimu.

Untuk kekasihku yang katanya ingin berjuang pada hubungan yang belum disetujui langit dan bumi ini, bersabarlah. Akan ada saatnya pelangi membentuk senyum yang Indah, menyapa sesuatu yang baru, yang akan membahagiakan kita berdua.

Sincerely,

Your love ♥

Sabtu, 25 Maret 2017

KEMBALI KEPADA PILIHANMU

Sayang, cinta itu bukan perihal mudah. Butuh perasaan yang kuat, setidaknya agar kamu bisa berpikir berulang kali sebelum akhirnya mengambil keputusan.

***

Aku... Aku ingin bilang bahwa aku tidak mampu untuk menyerah. Aku masih ingin memperjuangkan kamu. Aku masih ingin memahami kamu. Dan maaf. Aku masih ingin mencintai kamu, dalam marah dan sedih-sedih itu..

Maaf jika bagimu aku melelahkan. Hanya saja, aku tidak bisa melepasmu. Aku sudah memikirkannya berulang kali. Aku sudah mencoba mencari jalan untuk mundur. Namun, hatiku tetap tidak ingin menyerah. Di dunia ini, hanya kamu satu-satunya lelaki yang paling mengerti aku. Mana mungkin aku melepasmu begitu saja, sementara dengan seribu satu perjuangan penuh kukerahkan, untuk sampai di tahap se-menyulitkan ini?

Memiliki hatimu itu tidak mudah, tampan. Aku harus jatuh bangun deminya. Aku harus tertatih dan terkatung-katung karenanya. Lantas, di saat hatimu sudah kumiliki -- meski belum seutuhnya, apa mungkin aku melepasnya, dengan mudah? Tidak, kan?

Jujur, aku terluka. Aku terluka begitu dalam. Seharian kuhabiskan waktuku untuk menangis dan menangis. Sesekali kuhibur diriku dengan bacaan humor, yang dapat membuatku sedikit tertawa. Namun hambar. Tawaku benar-benar kedengaran pahit. Bahkan, tawaku membuatku kembali menangis. Hey, Lhia! Kau sedang tidak terkena cinta buta, kan?

Aku sudah berusaha mungkin untuk menghilangkan sifat kekanakanku. Aku sudah berusaha untuk menghargai kejujuranmu. Kau tahu dan kenal aku begitu dalam. Aku bukan perempuan yang mudah mengalah akan suatu hal. Aku bukan perempuan yang gampang lembek akan ego keras yang sudah tertancap dalam diriku. Hanya saja, kamu. Kamu penyebab kenapa aku selalu saja mengalah. Ini semua karena perasaanku yang sudah teramat dalam. Tolong, hargai sedikit saja. Inginku, tidak terlalu rumit, kan?

Aku terluka lagi. Jelas-jelas aku terluka lagi. Aku terluka bukan karena bayang-bayang itu menghantui otakku. Aku terluka karena rasanya, aku tak pernah menjadi baik di matamu. Aku melelahkan. Aku hanyalah perempuan dengan sejuta kemarahan yang mungkin tak kau mengerti. Aku paham kau lelah, aku sendiri lelah jika begini. Tapi, aku ingin mengaku. Masih bisakah aku memperjuangkanmu, dalam luka-luka lama yang sudah berusaha kubalut dengan obat merah sendiri? Aku masih mencintaimu dengan sangat. Bahkan, di detik-detik hatiku terluka sedemikian rupa.

Hari ini, aku terluka dengan begitu parah. Luka yang lebih parah dari hari kemarin. Bahkan, saat hujan datang-- yang biasanya hanya akan mendatangkan kenang indah, justru air mataku yang tumpah ruah. Aku tidak tahu aku kenapa. Aku hanya merasa terluka. Aku hanya merasa cintaku dan cintamu itu ada pada tingkatan beda. Di sini, aku merasa, hanya aku yang punya perasaan lebih. Bahkan, aku hanya merasa, kau sama sekali tak menghargai perasaanku. Aku tidak ingin bertanya-tanya agar kau jawab. Aku tak perlu lagi jawaban apa-apa darimu. Aku takut 'kan semakin terluka. Aku takut terjatuh lebih dalam lagi. Aku takut terseret duka-duka yang akan membuatku mati. Iya. Mungkin saja lenyap dari bumi.

Hanya.. Jika memang kali ini kau benar-benar lelah kepadaku, kau boleh mengaku mengundur diri. Semalam, aku sudah menimbang dengan ditemani air mata yang tak henti. Aku hendak pergi. Namun cinta tetap menahanku di sini. Sekali lagi, perjuanganku untuk mendapatkan hatimu--dalam kurun waktu yang panjang, tak bisa membuatku melepasmu begitu saja. Aku masih sangat mencintaimu. Aku masih sangat menyayangimu. Namun, jika mungkin kau benar-benar lelah, dan ingin menyerah akan semua.... Tidak apa. Itu hak mu. Setidaknya, tidak ada lagi perempuan menjengkelkan di hidupmu. Tidak ada lagi perempuan dengan sejuta perintah di duniamu. Tidak akan ada lagi perempuan yang melarang-mu ini itu. Tidak ada lagi perempuan dengan ribuan ketidakjelasan yang mungkin saja membuatmu lelah. Itu pilihanmu. Jika memang kamu ingin pergi dan mencari cinta yang baru, aku akan mengelus dada dan mencoba untuk mengikhlaskanmu pergi. Setidaknya, meski akan terluka dengan sedemikian rupa kembali, aku pernah memperjuangkan kamu dengan sepenuh hati. Aku pernah mencintai kamu -bahkan masih mencintai kamu dengan sedalam-dalam palungnya cinta. Jadi, sebenarnya, aku tidak perlu takut kau tinggalkan. Sebab, aku sudah terbiasa dengan teori kehilangan. Aku --- seorang gadis yang malang ini, sudah kebal untuk kasus-kasus kehilangan. Aku tidak yakin kehilangan kamu akan mudah. Namun, jika kau bahagia, aku akan berusaha untuk ikut bahagia. Setidaknya, aku masih bisa melihatmu tersenyum, meski senyum itu tidak akan pernah diperuntukkan untukku. Iya. Aku akan ikhlas jika itu maumu, asal kau tetap bahagia. Sebab, bahagiamu adalah indah duniaku, meski aku akan menyesal, dan terluka selamanya.

Semua kembali kepada pilihanmu. Semua kembali kepada apa sebenarnya inginmu. Tak ingin kumemaksa agar kau tetap di sisiku. Hanya saja, aku tak mau jika keinginan ini kembali terkubur dalam-dalam, diam-diam. Aku hanya ingin kau tahu, bahwasanya, aku, belum sanggup, bahkan tidak akan pernah sanggup melepasmu pergi. Tapi, sekali lagi, itu pilihanmu. Jika memang lelahmu sudah berada di ujung lelah se-lelah lelahnya hati, kau boleh meninggalkanku di sini, di persimpangan sepi ini. Kau boleh pergi dan jangan menengok kembali. Jemput bahagiamu agar aku tak terlalu terluka di masa yang akan datang. Jemput Cinta barumu agar setidaknya aku tak menyesal pernah meng-ikhlaskan kamu pergi. Aku hanya ingin kau bahagia, meski hari-hari ke depan yang  kulalui akan dipenuhi dengan air mata.

Maafkan aku, tampan. Aku masih ingin memperjuangkan kamu. Aku masih ingin mencintai kamu. Aku masih ingin memahamimu, dalam ego-ego yang belum bisa kuhilangkan, karena terlalu bersifat kekanakan.

-Dalam luka 13 maret, di penghujung hari, saat shubuh mulai berganti-

Rabu, 15 Maret 2017

BISAKAH KITA BERTUKAR PERAN SAJA?

Sore ini, gemericik menyapa bersama dingin yang mencekat. Tiada tanda bahwa dirimu benar-benar akan bertanya padaku. Tiada sama sekali tersirat inginmu tuk tahu bagaimana diriku. Singkatnya, kau sama sekali tak peduli, bahkan saat aku benar-benar merasa lemas dan hampir saja menyerah.

Ini adalah hari ketiga semenjak penyakit itu menggerogoti tubuhku. Memang terdengar biasa saja, tapi rasanya itu luar biasa. Awalnya akupun merasa sakit ini akan berlalu dengan cepat. Tapi, nyatanya semua tak sesuai dengan yang kuduga.

Aku sakit pada dua perihal yang tak pernah bisa kusinkronkan. Elegi-elegi pahit menjelma menjadi udara, yang selalu saja kutelan dan kuhembuskan agar bisa hidup lebih panjang. Tak banyak inginku. Aku hanya ingin kau ada, sekadar untuk menyemangati, bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang terjadi hari ini.

Aku sedih. Tentu. Mengapa di saat aku benar-benar butuh kamu, kamu sama sekali tak menampakkan diri? Aku sadar, aku di hatimu masih menjajari baris-baris gadis yang masih sulit untuk kau pilih. Aku tahu diri, bahwa aku bukanlah segalanya dalam hidupmu. Gadis penyakitan ini hanyalah gadis yang benar-benar hanya bisa memberi cinta, namun tak berupa dan tak ada dalam duniamu yang nyata. Apakah cinta tulusku tak pernah sedikitpun membuat getar hatimu menjadi sedikit ada? Setidaknya, pahamilah aku, jika memang kau tak bisa mencintaiku dengan sungguh-sungguh.

Aku melawan sakitku sendiri. Terkatung sendiri. Menelan segala sakit dan luka yang menyatu dengan sendiri. Aku hanya butuh kamu. Aku hanya ingin kau ada di sampingku, layaknya aku yang selalu ada di sisimu. Aku hanya ingin kau ada, meski kita terpaut di dunia yang berbeda. Aku hanya ingin kata-kata manismu itu menggelayut manja dengan indah, hingga kuatku bisa mengalahkan sakit yang menyiksa raga. Aku hanya ingin kau menyemangatiku, dan memberiku rentetan pernyataan mengenai 'pentingnya aku untuk tak sakit,' agar aku sedikit merasa hangat. Aku tak butuh apa-apa di dunia ini. Aku hanya butuh pesan singkatmu, yang merupakan titik pusat semangatku untuk bertahan sejauh ini. Kamu; pria yang selalu kuagungkan dalam doaku, adalah kekuatan bagi tubuh seorang gadis lemah sepertiku. Hanya itu. Tak perlu diurai, dan tak bertele-tele.

Sekarang, di 13 jam aku menunggu pernyataan itu, kau tak kunjung menampakkan kekhawatiran. Semalam, kau bilang moodmu tidak baik, karena dihancurkan oleh seorang wanita yang -- mungkin-- kau anggap jauh lebih penting dariku. Lalu, aku mencoba menenangkan meski sebenarnya akulah yang perlu ditenangkan. Aku masih menomorsatukan kamu, padahal sakitku jauh lebih penting dari apapun. Aku tak punya waktu untuk meladeni curhatmu, tapi dengan ketulusan hati aku berikan. Aku hanya ingin kau bahagia. Tak bisakah kau juga memperlakukanku, layaknya aku memperlakukanmu?

Aku menunggumu seharian. Menunggu kau bertanya bagaimanakah kabarku kemudian. Menunggu kamu memberiku perintah untuk menjaga kesehatan. Setidaknya aku berharap kau akan menyuruhku untuk rutin meminum obat. Tapi, nyatanya semua hanya ilusi.

Aku menunggu di detik-detik ketidakpastian. Aku menanti perihal yang teramat sangat jelas tak akan menyapa walau sungai mengalir deras di wajah. Perlakuanku tidak pernah sama dengan perlakuanmu. Rasaku tak pernah imbang dengan rasamu. Aku dan kamu bagaikan bumi dan langit. Sebuah kisah ketidakmungkinan yang sudah ditakdirkan Tuhan.

Aku menelan lukaku sendiri. Ku minum obatku dengan rutin tanpa pemberitahuan dari kamu sama sekali. Kuimbangi rasa sakit yang bergejolak di paru-paruku. Bahkan, di tengah dini hari saat aku terbangun kesesakan, hanya namamu yang selalu saja terngiang. Kenapa? Kenapa hanya aku yang diciptakan untuk mencintai kamu sebegini? Kenapa rasaku berlebih? Kenapa rasanya rumit sekali?

Pangeran. Bisakah kita bertukar peran saja? Aku menjadi kamu, dan kamu menjadi aku. Aku ingin mencintaimu sekadarnya, dan mengacuhkanmu saat aku merasa tak perlu mengabarimu. Aku ingin bahagia-bahagia saja tanpa perlu berlebihan membahas kamu dalam hidupku. Aku ingin hidup baik-baik saja meski kamu sedang sakit atau sedang diterpa masalah. Aku tak ingin berlebihan menyimpan rasa. Aku hanya ingin menganggapmu sebagai teman berbagi yang kadang kucintai. Bisakah kita bertukar peran demikian? Aku hanya ingin mengalami satu hari penuh, tanpa menyangkutpautkan kamu. Aku hanya ingin merasa tak apa-apa, bahkan saat sehari tak mengetahui keadaanmu bagaimana. Aku hanya menginginkan hal se-sederhana itu. Tak bisakah kumiliki?

Hujan di pipiku mengalir dengan deras, seiring dengan senja yang terlukis di sepertiga langit. Bahagiaku kini terkubur dalam, sedalam cintaku yang benar-benar hanya bisa kusimpan dalam diam. Sebagaimana sayangku yang berlebih, ternyata sakitku pun tak kalah letih. Kau, pria yang teramat sangat kucintai, kembali meleburkan puing hati yang bahkan belum utuh. Saat semua sudah kuperbaiki, dalam buih-buih luka yang kian meretakkan jiwa.

Dari gadis yang tak bisa berkata banyak,
bahkan untuk menyalahkanmu saja tidak.

-Duka 26 Januari, saat hiruk pikuk dunia mulai berganti, menjadi malam kelam yang sunyi sepi-

TERLUKA

Hujan kembali menyapa di menit setelah ibadah isya dilaksanakan. Angin bertiup semilir, menerbangkan duka-duka yang nampak senang menyapaku. Aku terpaku, diam tanpa kata. Jadi, begitukah dulu perlakuanmu di masa lalu?

Bukan. Bukannya aku ingin membahas perihal apa yang sudah lewat. Bukan pula aku ingin mencari-cari kekuranganmu. Justru, selama ini, aku selalu berusaha memahamimu, bukan? Iya. Aku selalu mengalah, meski sebenarnya aku terluka. Dan lagi.. Di malam sunyi ini, luka itu kembali mengetuk pintu hatiku, menusukkan ribuan sembilu, kemudian membuatku sesak sedemikian itu. Aku kesesakan.. Apa kau paham bagaimana perasaanku??

Aku sudah berkali-kali bilang kepadamu, bahwa aku ingin kamulah yang menjadi akhirku. Aku ingin tetap kamu yang kuperjuangkan, dan akupun ingin kamu memperjuangkanku. Aku tidak ingin ada penghianatan.. Tapi, begitukah dulu caramu mencintai gadis lain yang juga sahabatku?

Aku pernah melepasmu pergi, di detik-detik cintaku mulai tumbuh. Kau permainkan perasaanku antara memilih dan pergi. Kau memilih sahabatku, kemudian aku berusaha ikhlas tanpa pamrih. Kubiarkan kau bahagia bersamanya, meski setiap hari aku harus terkatung-katung karena luka. Apakah pernah sejenak kau berpikir, betapa perjuanganku sampai di tahap ini benar-benar tiada henti? Aku masih memperjuangkan kamu, bahkan di waktu hatimu sudah sepenuhnya kumiliki.

Aku menghela napas gusar berkali-kali. Sebelum jawaban pedasmu itu kau lontarkan, aku sudah menyiapkan mental kuat-kuat. Aku sudah bersedia jika hatiku akan kembali patah, seperti saat pengakuan pertamamu dulu. Dan ternyata, semua tak sesuai alur pikirku. Aku shock, setengah mati. Tenggorokanku tercekat. Tuhan.. Begitukah perilaku manusia yang teramat sangat kucintai, ini?

Aku terluka. Sungguh aku terluka. Dengan susah payah kutahan air mataku agar tak tumpah, dan dengan susah payah aku mengatakan padamu bahwa aku baik-baik saja. Katamu, kau tak suka melihatku murung.. Dan aku menjawab, bahwa aku sedang tidak murung. Aku hanya terluka. Dan luka yang kali ini kau ciptakan benar-benar menyakitkan. Kenapa justru hanya aku yang selalu terluka? Apakah perjuanganku untuk menggapaimu belum sampai pada kata cukup? Ataukah aku memang tak pantas untuk memiliki hatimu?

Air mata itu menetes deras, padahal aku sudah mati-matian menahannya dengan senyuman. Tidak bisa Tuhan!! Ini sakit. Sakit sekali. Kepalaku terasa ingin pecah. Rongga paruku terasa penuh. Darahku terasa berhenti berdesir. Dan detak jantungku berpacu tanpa irama yang menentu. Bayang-bayang pengakuanmu terputar-putar dalam anganku. Aku bimbang, dilema, dan tak tahu harus berbuat apa. Aku merasa ini tidak adil. Apa di dunia ini hanya aku, yang ketinggalan jaman karena kurang pergaulan? Apa hanya aku, gadis paling polos di antara seluruh remaja belasan tahun seusiaku? Entahlah. Aku tidak habis pikir. Bahkan, untuk membayangkan wajahmu saja aku tak mampu. Sungguh. Ini luka paling parah. Ya. Kurasa seperti itu.

Dan akhirnya.. Tanpa pertimbangan apapun aku memilih untuk menyerah saja memperjuangkanmu. Bukan karena aku tidak mencintaimu dengan sekuat penuh. Justru karena cintaku yang sungguh-sungguh inilah, aku memilih untuk mengundurkan diri saja. Aku masih ingin memahami kamu. Akupun masih ingin mencintai kamu dan melalui hari-hari bahagia bersamamu. Namun, aku putus asa. Setiap bayangan itu berlalu lalang di pikiran, rasanya aku ingin amnesia saja. Aku ingin melupamu. Bahkan, aku ingin ada pada waktu di mana kita belum kenal. Aku tidak ingin ada sesuatu yang terjadi di antara kita. Aku ingin kita menjadi sepasang manusia yang saling tak mengenal saja. Jika itu terjadi, pasti lukaku takkan separah ini. Tuhan.. Apakah gadis Malang sepertiku memang ditakdirkan untuk selalu kalah dalam perihal Cinta?

Aku mencintaimu tanpa alasan. Aku menyayangimu tanpa tau sebab musababnya. Aku selalu terpesona padamu. Jantungku kian berdegum keras kala kau tertangkap oleh sepasang mataku. Kamu terlalu Indah dan menyilaukan. Tapi, kenapa kau melakukan hal yang sangat sulit aku percaya?

Aku meminta saran ke sana dan kemari. Aku bercerita kepada setiap orang dengan alasan untuk mempertimbangkan konflik di cerita-cerita baruku. Tapi, yang kudapati jawaban adalah memaklumi. Katanya, semua orang punya duka di masa lalu. Tak ada manusia yang langsung menjadi baik. Dan katanya, Cinta itu harus menerima apa adanya. Ya. Aku paham sekali mengenai hal itu. Tapi, kenapa semua orang menyuruhku menciptakan tokoh perempuan yang kuat saja? Kenapa mereka memerintahkanku untuk menciptakan tokoh yang pasrah dan selalu memaklumi sang lelaki? Aku tidak bisa berpura-pura kuat lagi. Aku sudah rapuh pada persoalan-persoalan Cinta yang pernah kulalui. Tak bisakah, cintaku datang, saat umurku sudah matang, dan saat pikiranku sudah sedikit dewasa untuk menerima kenyataan pahit dalam hidup? Ini terlalu pahit, Tuhan. Apa aku memang terlalu kekanak-kanakan, hingga masalah yang katanya sangat sepele itu kian kubesar-besarkan? Aku tidak menganggapnya sepele. Ini penyiksaan hati! Kenapa tak ada satupun manusia yang mengerti?

Angin semakin bertiup kencang, seakan ingin memeluk dan membawaku pergi. Bulu kudukku meremang. Selimut kesayangan milikku mendekapku erat-erat. Selimut ini mencoba memberikan kehangatan, namun justru luka ini malah semakin sakit. Kau yang begitu kucintai.. Tak kusangka berbuat seperti itu. Di detik-detik aku berusaha menjaga kerapuhan hatiku saat kau bahagia bersamanya. Di detak waktu saat aku berusaha melirik yang lain agar tak terlalu terluka sedemikian rupa.

Katamu sering, dan akumu, kau senang. Di saat duri kata yang kau ucapkan itu semakin menikam jantungku kuat-kuat, kau malah mengatakannya tanpa beban. Apa tak ada sedikitpun aku di hatimu, kala itu? Apa Cinta bagimu dan baginya harus berbuat seperti itu? Sebenarnya, dalam pikiranmu, definisi Cinta itu seperti apa? Bisakah kau menjelaskan padaku, agar aku bisa sedikit paham dengan jalan pikirmu?

Aku berbalik, dan berusaha membalas pesanmu untuk terakhir kali. Aku memilih pamit, dan mengaku bahwa kantuk tengah menyerangku. Kamu mengucapkan selamat tidur yang manis, namun sayangnya hatiku tak lagi tersentuh. Apakah mungkin.. Kamu di hatiku perlahan-lahan lenyap bagai butiran uap?

Aku menangis kesesakan. Cinta yang selama ini kuperjuangkan nyatanya sakit. Kenapa justru di saat aku berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga diri, orang yang kucintai malah dengan senang hati berganti-ganti? Aku sudah berusaha maklum akan pengakuan pertamamu. Aku maklum bahwa dulu akulah yang meninggalkanmu. Aku maklum jika dulu kau menghabiskan banyak waktu bersamanya. Aku selalu memaklumimu.. Tapi saat ini, apakah masih pantas aku memaklumimu? Iya?

Kupikir, kita akan menghabiskan sisa waktu dengan bahagia. Tapi ternyata, justru aku terluka lebih parah. Parahnya lagi, luka ini disebabkan oleh diriku sendiri. Aku memaksamu untuk mengaku, dan meminta agar tak ada rahasia di antara kita. Sekarang, aku memilih menjauh dan menenangkan pikiran. Tuhan.. Aku masih tidak percaya.. Aku masih tak bisa menerima dengan seikhlas-ikhlasnya hati. Kamu yang kucintai, dengan mudahnya menghianati kepercayaanku.

Aku memukul-mukul kepalaku berulang kali. Bayang-bayang wajah manismu kembali terulang-ulang dalam hati. Aku ingin lupa. Aku ingin lupa semua tentangmu. Aku ingin lupa suaramu. Aku ingin lupa cara tatapmu. Aku ingin lupa caramu berjalan. Aku ingin lupa semua keindahan yang selalu kulihat sepanjang pagi. Aku ingin lupa akan semua. Aku ingin menjauh kemudian kita akan saling melupa. Aku ingin kau kesal, kemudian tidak terluka. Aku ingin kau pergi saja mencari Cinta barumu. Aku merasa tidak pantas untuk kau perjuangkan. Aku kekanak-kanakan. Aku terlalu sering membahas masalah yang aku sendiri ciptakan. Aku senang membesar-besarkan masalah yang menurutmu dan orang-orang sebagian sebagai masalah sepele. Aku tidak punya pikiran. Aku bocah. Aku pemarah. Aku.. Aku gila!!! Aku gila!! :'(

Sekali lagi aku menangis.. Terdiam.. Di keheningan malam.. Merenungi rasa cintaku yang teramat dalam.. Dan membuatku menimbang.. Apakah masih bisa kau kuperjuangkan.. Atau aku harus berhenti sampai di sini saja..

Dari luka 11 maret, di sabtu malam, saat hujan mengguyur gelapnya hari, seperti duri yang menancap di hati.

Senin, 06 Maret 2017

TERUNTUK SESEORANG YANG DULU PERNAH KUPERJUANGKAN...

Untuk seseorang yang pernah kuperjuangkan dengan sepenuh hati
Namun tak berterima kasih
Dan malah memilih untuk pergi...

Pahamilah, lelaki. Dirimu di hatiku kini bukan apa-apa lagi. Kau sudah tak pernah kugubris di dalam anganku. Apalagi di hati? Haha. Itu benar-benar lelucon yang sangat tak pantas kupuji-puji.

Aku menuliskan ini saat aku mulai gerah. Rasanya benar-benar risih, saat ternyata kau masih berulah seolah aku ini masih ada rasa padamu. Seolah aku ini masih berdegum-degum kala melihatmu. Seolah aku ini masih Setia menjadi penggemar mu, padahal kau sudah membuang dan menghempasku dengan jauh. Bisakah kau hilangkan itu semua? Anggap aku manusia biasa, dan buat seolah semuanya tak pernah terjadi. Bukankah itu yang kau inginkan, semenjak memilih untuk mengundurkan diri?

Lelaki. Aku muak melihat tingkahmu yang nampak ingin diperhatikan itu. Apa kau tahu satu hal? Kau, bukan lagi objek terindah bagi mataku. Kau hanya orang biasa, bahkan kehadiranmu yang kadang tiba-tiba sama sekali tak berpengaruh pada organ tubuhku. Jangan terlalu berbangga diri. Bukankah sejak dahulu sudah kuberi tahu. Seseorang yang mencintaimu dengan tulus itu akan hilang. Dan Cinta itu bukan hanya perihal memperjuangkan seseorang yang malah mencampakkan. Kau paham definisi Cinta, bukan? Apa perlu kuperjelas??

Lelaki. Intinya, kamu bukan lagi siapa-siapa di mataku. Aku tidak menganggapmu hal-hal special lagi. Aku tidak lagi mengingat segala tindakanmu yang pernah meluluh-lantahkan hatiku. Aku tidak lagi mengingat untaian kata manis yang dulu kau ucap dengan mudah. Aku tidak lagi mengingat senyum manismu yang dulu teramat kukagumi. Tidak. Semuanya telah musnah, di hari ke lima ratus lebih, aku memperjuangkan kamu. Bayangkan!! Hitungan hari yang kulalui dengan luka itu. Apakah kau pikir itu mudah?

Lelaki. Jangan terlalu sering bertingkah over. Tingkahmu sama sekali tidak menarik perhatianku. Tatapmu yang berusaha kau teduh-teduhkan sama sekali tak bisa mengetik pintu hatiku. Sudah tidak lagi. Tidak.

Lelaki. Aku juga ingin bilang. Cintaku ke kamu dulu itu memang terhitung luar biasa. Tapi.. Sekali lagi, itu Cinta labilku. Aku mencintai kamu dengan alasan ini dan itu. Aku mencintai kamu dan aku berdebar kala melihatmu. Aku menjadi pengagummu, menjadi pemujamu. Aku menjadi gadis bodoh yang dengan tidak berdosa menjadikan kamu sebagai tokoh utama di segala tulisan yang aku buat. Kamu. Iya, kamu. Pernah menjadi Raja yang memiliki tahta akan segala. Tapi, sekali lagi. Ini pilihanmu, kan? Kau pergi tanpa dosa, kemudian memamerkan banyak Cinta seolah-olah aku ini bukan apa-apa. Haha. Kalau kuingat-ingat lagi, skenariomu benar-benar lucu, lelaki. Kenapa kau tak menjadi Bintang tamu opera van java saja?

Lelaki. Sudahkah kau mengerti? Dirimu saat ini tidak lain dan tidak bukan kuanggap orang asing saja. Hatiku? Kau ingin tahu bagaimana kabarnya? Hatiku baik-baik saja. Hatiku sehat-sehat saja. Ah, iya. Ini juga salah satu pesan yang ingin kusampaikan padamu. Nyatanya, hidupku tanpamu masih baik-baik saja. Bahkan, jauh lebih baik dari hidupmu. Kenapa kubilang begitu? Karena di saat aku sibuk berbahagia dengan satu Cinta, kau malah sibuk mengganti dan mencari-cari Cinta yang kau anggap sejati. Cinta sejati? Ekkheemm.. Apa kau mengerti deskripsi dari dua kata yang sering kau ucap itu? Ah. Sudahlah. Perkataanmu kan, ibarat angin. Berhembus kemudian hilang. Sederhana namun memuakkan. Tidak terbukti dan malah menyakiti hati. Apakah kamu sadar?

Lelaki. Aku juga ingin bilang. Saat ini, hatiku tengah diisi oleh seseorang yang sempurna. Seseorang yang tiada bandingan dengan dirimu. Seseorang yang memiliki cintaku. Seseorang yang membuatku jatuh Cinta, tanpa menyulapku menjadi gadis pengemis Cinta. Seseorang itu luar biasa.  Dibandingkan kamu yang selalu merasa sok keren, tentu, dia jauh lebih baik darimu. Apa yang dia miliki, tak kau miliki. Pokoknya dia luar biasa, dan tentu aku sangat Cinta.

Kau mungkin bilang, aku ini gadis labil yang mudahnya bilang Cinta. Hanya saja kau salah, lelaki. Buktinya, aku memperjuangkan kamu dalam hari-hari panjang. Di saat kamu sudah mengganti ini dan itu, aku masih sibuk menata hatiku yang hancur tak beratur akibat ulahmu. Di saat kamu sibuk mengumbar kebahagiaan di depan mataku, aku masih sibuk merawat luka-luka yang kau gores tanpa rasa bersalah. Coba kau pikir-pikir lagi. Sebenarnya, karma apa yang pantas diturunkan padamu, setelah menyakiti seorang gadis yang pernah mengaku bersungguh-sungguh? Jadi, bukan kesalahan besar, kan? Jika hari ini giliran aku yang berbahagia. Tentu, aku bahagia. Bisa lepas dari jeratan lelaki tak berperasaan sepertimu, juga lelaki yang mudah mengumbar sayang tanpa rasa malu.

Lelaki. Aku ingin pamer satu lagi. Lelakiku yang kini kucintai benar-benar lelaki idaman. Dia adalah lelaki yang tidak mudah bilang cinta. Dia adalah lelaki yang penuh dengan kejutan. Dia adalah lelaki yang tidak banyak menyembunyikan apapun dariku. Dia adalah lelaki yang selalu menjadi rumah kala gundah gulana hatiku. Dia adalah lelaki gagah, tampan, rupawan, dan tentu aku sangat cinta. Dia adalah lelaki yang sangat-sangat kupuja. Bahkan, lelaki itu lebih dulu kukenal daripada dirimu. Lelaki itu lelakiku. Bukan kamu. Bukan. Bukan dan Bukan. Sudah jelas dan tegas, kan?

Jadi, lelaki.Tulisan ini benar-benar kuperuntukkan untukmu. Untuk seseorang yang pernah mengisi masa laluku. Untuk seseorang yang mungkin masih merasa dirinya dicintai. Untuk seseorang yang selalu over, padahal sudah tak kulirik-lirik lagi.

Sudahlah, lelaki. Kisah kita, telah berakhir sejak dua tahun yang lalu, bukan? Jadi, untuk apa lagi kita ungkit? Bahkan, kau tidak ingin menganggapku bagian dari masalalumu, kan? Nah, aku juga tidak ingin dianggap, kok. Jadi, tenang saja. Mari kita berdamai, kemudian saling melupakan. Jangan lagi ada rasa saat kita berjumpa. Ini inginku. Semoga kau paham ya, lelaki.

Dan, teruntuk lelaki yang kini kucintai.. Jangan ragukan cintaku. Kau tahu dan kenal aku dengan sangat baik, bukan? Cintaku sungguh-sungguh. Kuharap kaupun begitu. Tak usah khawatir dengan masa laluku. Semenjak jatuh padamu, aku tak lagi tertarik kepada lelaki manapun.

Tertanda gadis yang mengaku
Bahwa dirinya sudah bahagia tanpa dirimu
Seseorang yang mengatasnamakan dirinya masa lalu~

-6 Mar 17, Senin malam, pukul 21:47 waktuIndonesiaBagianTengah, saat mata mulai berjalan perlahan ke pulau kapuk-

Jumat, 03 Februari 2017

PULANG ATAU MENYERAH



Ini hari yang entah hari keberapa semenjak perpisahan kita. Perpisahan dua manusia yang tak pernah terikat hubungan serius. Hanya sekadar pertemuan dan pertemanan di sosial media, yang ah, memang terkesan biasa.Yang tak biasa hanyalah rasaku. Rasa aneh yang tiba-tiba bergejolak di dadaku. Rasa yang kini membuatku tenggelam, di palung samudera yang teramat dalam.
Aku mencintai dirimu di awal pertemuan kita. Kala itu, kamu melangkah tepat di depanku. Ada binar-binar indah di matamu, juga ada bunga-bunga di hatiku. Rasanya begitu indah, namun ternyata malah menciptakan luka. Aku mencintaimu saat kamu masih menjadi milik orang lain. Aku menjadi pemuja rahasiamu, saat kamu hanya menganggapku sebagai teman. Aku diam-diam mendoakanmu, meski jelas-jelas kamu bahagia dengan kekasihmu. Apakah masih pantas, orang sepertiku dijuluki orang baik-baik? Sepertinya, aku memang tidak baik, untuk sosok se-sempurna dirimu.
Aku pernah pulang pergi dari hidupmu. Tidak begitu yakin rasanya untuk mengetuk pintu hatimu. Terlebih, aku sedikit sadar diri. Aku hanyalah seorang gadis kampung biasa, yang mencintai sosok yang luar biasa sempurna. Pantaskah?
Aku menyimpanmu dalam ruang hati yang disebut rindu. Aku menyebut namamu dalam peluh dan keluh yang tak bisa menjadi satu. Aku selalu memuja, meski kau selalu begitu. Tak pernah sedikitpun merasa iba dengan perasaanku.
Aku paham, perasaan bukanlah perihal yang mesti diberi rasa iba. Tak juga harus disumbangi rasa simpatik. Perasaan haruslah berbalas perasaan. Tapi ternyata, pernyataan itu tak pernah menunjukku sebagai jawaban.
Dilema adalah kebiasaan bagiku. Kebiasaan bagi gadis tak tahu diri yang malah mencintai lelaki milik orang lain. Aku selalu ingin mengusirmu dengan perlahan. Tapi, semakin kuusir, semakin bayangmu mengusik hangat dalam ingatan. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Kurasa, aku benar-benar telah terperangkap dalam muslihat kilaumu.
Pada pucuk daun penantian yang tak kunjung layu, aku selalu berusaha menengok ke belakang untuk mencari kebenaran. Sesekali, kuarahkan kakiku untuk pulang. Karena memang, hanya ada dua pilihan yang mesti aku tunjuk sebagai arah tuntunan. Pulangkah atau menyerah saja?
Jujur saja aku lelah. Lelah untuk berjalan dan mengikuti ke mana inginmu melangkah. Aku lelah singgah berteduh kala badai, lelah juga memaksa berjalan kala hujan. Aku selalu ikut ke mana pergimu. Namun, kenapa tak pernah sesekali kau coba melirik keberadaanku. Setidaknya, anggaplah aku ada. Mungkin, kau bisa berbalik, kemudian berkata, “Berhentilah, aku resah dibuntuti olehmu.” Singkat, bukan?
Perkenalan biasa itu ternyata menjatuhkan. Menjatuhkan aku di jurang kesakitan. Aku terserembab, terseret alur gila yang tak kuketahui apa namanya. Sekarang aku mulai bertanya-tanya. Benarkah cinta itu memang buta?
Sekali lagi, rasanya aku ingin menyerah saja. Pulang atau menyerah? Kenapa tidak kedua-duanya? Aku sudah memperjuangkanmu dengan sungguh. Pun, sudah kuberi semua inginmu yang tak pernah kau anggap penuh. Peluhku berjatuhan. Sakit yang terasa juga kian menyayat. Kini, aku mulai bimbang. Tak salah kan, jika kini aku memilih untuk memutar haluan saja? Aku ingin pulang, kemudian menyerah pada keadaan. Menyerah mencari celah hatimu, yang tak akan pernah terbuka meski kucoba dengan bagaimana. Hatimu telah penuh, oleh sosok-sosok yang luar biasa. Iya, mungkin ini memang jalan. Jalan yang diberi Tuhan, agar aku tak lagi lelah mengikuti langkahmu dari belakang.
Dari gadis yang selalu ikut denganmu
Meski keberadaannya tak pernah sekalipun kau tahu

-Lhia Nur Mauliani-