Hujan kembali menyapa di menit setelah ibadah isya dilaksanakan. Angin bertiup semilir, menerbangkan duka-duka yang nampak senang menyapaku. Aku terpaku, diam tanpa kata. Jadi, begitukah dulu perlakuanmu di masa lalu?
Bukan. Bukannya aku ingin membahas perihal apa yang sudah lewat. Bukan pula aku ingin mencari-cari kekuranganmu. Justru, selama ini, aku selalu berusaha memahamimu, bukan? Iya. Aku selalu mengalah, meski sebenarnya aku terluka. Dan lagi.. Di malam sunyi ini, luka itu kembali mengetuk pintu hatiku, menusukkan ribuan sembilu, kemudian membuatku sesak sedemikian itu. Aku kesesakan.. Apa kau paham bagaimana perasaanku??
Aku sudah berkali-kali bilang kepadamu, bahwa aku ingin kamulah yang menjadi akhirku. Aku ingin tetap kamu yang kuperjuangkan, dan akupun ingin kamu memperjuangkanku. Aku tidak ingin ada penghianatan.. Tapi, begitukah dulu caramu mencintai gadis lain yang juga sahabatku?
Aku pernah melepasmu pergi, di detik-detik cintaku mulai tumbuh. Kau permainkan perasaanku antara memilih dan pergi. Kau memilih sahabatku, kemudian aku berusaha ikhlas tanpa pamrih. Kubiarkan kau bahagia bersamanya, meski setiap hari aku harus terkatung-katung karena luka. Apakah pernah sejenak kau berpikir, betapa perjuanganku sampai di tahap ini benar-benar tiada henti? Aku masih memperjuangkan kamu, bahkan di waktu hatimu sudah sepenuhnya kumiliki.
Aku menghela napas gusar berkali-kali. Sebelum jawaban pedasmu itu kau lontarkan, aku sudah menyiapkan mental kuat-kuat. Aku sudah bersedia jika hatiku akan kembali patah, seperti saat pengakuan pertamamu dulu. Dan ternyata, semua tak sesuai alur pikirku. Aku shock, setengah mati. Tenggorokanku tercekat. Tuhan.. Begitukah perilaku manusia yang teramat sangat kucintai, ini?
Aku terluka. Sungguh aku terluka. Dengan susah payah kutahan air mataku agar tak tumpah, dan dengan susah payah aku mengatakan padamu bahwa aku baik-baik saja. Katamu, kau tak suka melihatku murung.. Dan aku menjawab, bahwa aku sedang tidak murung. Aku hanya terluka. Dan luka yang kali ini kau ciptakan benar-benar menyakitkan. Kenapa justru hanya aku yang selalu terluka? Apakah perjuanganku untuk menggapaimu belum sampai pada kata cukup? Ataukah aku memang tak pantas untuk memiliki hatimu?
Air mata itu menetes deras, padahal aku sudah mati-matian menahannya dengan senyuman. Tidak bisa Tuhan!! Ini sakit. Sakit sekali. Kepalaku terasa ingin pecah. Rongga paruku terasa penuh. Darahku terasa berhenti berdesir. Dan detak jantungku berpacu tanpa irama yang menentu. Bayang-bayang pengakuanmu terputar-putar dalam anganku. Aku bimbang, dilema, dan tak tahu harus berbuat apa. Aku merasa ini tidak adil. Apa di dunia ini hanya aku, yang ketinggalan jaman karena kurang pergaulan? Apa hanya aku, gadis paling polos di antara seluruh remaja belasan tahun seusiaku? Entahlah. Aku tidak habis pikir. Bahkan, untuk membayangkan wajahmu saja aku tak mampu. Sungguh. Ini luka paling parah. Ya. Kurasa seperti itu.
Dan akhirnya.. Tanpa pertimbangan apapun aku memilih untuk menyerah saja memperjuangkanmu. Bukan karena aku tidak mencintaimu dengan sekuat penuh. Justru karena cintaku yang sungguh-sungguh inilah, aku memilih untuk mengundurkan diri saja. Aku masih ingin memahami kamu. Akupun masih ingin mencintai kamu dan melalui hari-hari bahagia bersamamu. Namun, aku putus asa. Setiap bayangan itu berlalu lalang di pikiran, rasanya aku ingin amnesia saja. Aku ingin melupamu. Bahkan, aku ingin ada pada waktu di mana kita belum kenal. Aku tidak ingin ada sesuatu yang terjadi di antara kita. Aku ingin kita menjadi sepasang manusia yang saling tak mengenal saja. Jika itu terjadi, pasti lukaku takkan separah ini. Tuhan.. Apakah gadis Malang sepertiku memang ditakdirkan untuk selalu kalah dalam perihal Cinta?
Aku mencintaimu tanpa alasan. Aku menyayangimu tanpa tau sebab musababnya. Aku selalu terpesona padamu. Jantungku kian berdegum keras kala kau tertangkap oleh sepasang mataku. Kamu terlalu Indah dan menyilaukan. Tapi, kenapa kau melakukan hal yang sangat sulit aku percaya?
Aku meminta saran ke sana dan kemari. Aku bercerita kepada setiap orang dengan alasan untuk mempertimbangkan konflik di cerita-cerita baruku. Tapi, yang kudapati jawaban adalah memaklumi. Katanya, semua orang punya duka di masa lalu. Tak ada manusia yang langsung menjadi baik. Dan katanya, Cinta itu harus menerima apa adanya. Ya. Aku paham sekali mengenai hal itu. Tapi, kenapa semua orang menyuruhku menciptakan tokoh perempuan yang kuat saja? Kenapa mereka memerintahkanku untuk menciptakan tokoh yang pasrah dan selalu memaklumi sang lelaki? Aku tidak bisa berpura-pura kuat lagi. Aku sudah rapuh pada persoalan-persoalan Cinta yang pernah kulalui. Tak bisakah, cintaku datang, saat umurku sudah matang, dan saat pikiranku sudah sedikit dewasa untuk menerima kenyataan pahit dalam hidup? Ini terlalu pahit, Tuhan. Apa aku memang terlalu kekanak-kanakan, hingga masalah yang katanya sangat sepele itu kian kubesar-besarkan? Aku tidak menganggapnya sepele. Ini penyiksaan hati! Kenapa tak ada satupun manusia yang mengerti?
Angin semakin bertiup kencang, seakan ingin memeluk dan membawaku pergi. Bulu kudukku meremang. Selimut kesayangan milikku mendekapku erat-erat. Selimut ini mencoba memberikan kehangatan, namun justru luka ini malah semakin sakit. Kau yang begitu kucintai.. Tak kusangka berbuat seperti itu. Di detik-detik aku berusaha menjaga kerapuhan hatiku saat kau bahagia bersamanya. Di detak waktu saat aku berusaha melirik yang lain agar tak terlalu terluka sedemikian rupa.
Katamu sering, dan akumu, kau senang. Di saat duri kata yang kau ucapkan itu semakin menikam jantungku kuat-kuat, kau malah mengatakannya tanpa beban. Apa tak ada sedikitpun aku di hatimu, kala itu? Apa Cinta bagimu dan baginya harus berbuat seperti itu? Sebenarnya, dalam pikiranmu, definisi Cinta itu seperti apa? Bisakah kau menjelaskan padaku, agar aku bisa sedikit paham dengan jalan pikirmu?
Aku berbalik, dan berusaha membalas pesanmu untuk terakhir kali. Aku memilih pamit, dan mengaku bahwa kantuk tengah menyerangku. Kamu mengucapkan selamat tidur yang manis, namun sayangnya hatiku tak lagi tersentuh. Apakah mungkin.. Kamu di hatiku perlahan-lahan lenyap bagai butiran uap?
Aku menangis kesesakan. Cinta yang selama ini kuperjuangkan nyatanya sakit. Kenapa justru di saat aku berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga diri, orang yang kucintai malah dengan senang hati berganti-ganti? Aku sudah berusaha maklum akan pengakuan pertamamu. Aku maklum bahwa dulu akulah yang meninggalkanmu. Aku maklum jika dulu kau menghabiskan banyak waktu bersamanya. Aku selalu memaklumimu.. Tapi saat ini, apakah masih pantas aku memaklumimu? Iya?
Kupikir, kita akan menghabiskan sisa waktu dengan bahagia. Tapi ternyata, justru aku terluka lebih parah. Parahnya lagi, luka ini disebabkan oleh diriku sendiri. Aku memaksamu untuk mengaku, dan meminta agar tak ada rahasia di antara kita. Sekarang, aku memilih menjauh dan menenangkan pikiran. Tuhan.. Aku masih tidak percaya.. Aku masih tak bisa menerima dengan seikhlas-ikhlasnya hati. Kamu yang kucintai, dengan mudahnya menghianati kepercayaanku.
Aku memukul-mukul kepalaku berulang kali. Bayang-bayang wajah manismu kembali terulang-ulang dalam hati. Aku ingin lupa. Aku ingin lupa semua tentangmu. Aku ingin lupa suaramu. Aku ingin lupa cara tatapmu. Aku ingin lupa caramu berjalan. Aku ingin lupa semua keindahan yang selalu kulihat sepanjang pagi. Aku ingin lupa akan semua. Aku ingin menjauh kemudian kita akan saling melupa. Aku ingin kau kesal, kemudian tidak terluka. Aku ingin kau pergi saja mencari Cinta barumu. Aku merasa tidak pantas untuk kau perjuangkan. Aku kekanak-kanakan. Aku terlalu sering membahas masalah yang aku sendiri ciptakan. Aku senang membesar-besarkan masalah yang menurutmu dan orang-orang sebagian sebagai masalah sepele. Aku tidak punya pikiran. Aku bocah. Aku pemarah. Aku.. Aku gila!!! Aku gila!! :'(
Sekali lagi aku menangis.. Terdiam.. Di keheningan malam.. Merenungi rasa cintaku yang teramat dalam.. Dan membuatku menimbang.. Apakah masih bisa kau kuperjuangkan.. Atau aku harus berhenti sampai di sini saja..
Dari luka 11 maret, di sabtu malam, saat hujan mengguyur gelapnya hari, seperti duri yang menancap di hati.